Bupati Tamba Apresiasi Pejuang di Jalan Sunyi Haji Raden Suharyo
- account_circle Jokowae
- calendar_month Selasa, 30 Jan 2024
- visibility 172
- comment 0 komentar

Jembrana suarajembrana.com – Bupati Jembrana I Nengah Tamba, dan Rektor ITB Stikom Bali, Dr. Dadang Hermawan, menghadiri dan sekaligus menjadi pembicara dalam peluncuran buku “Haji Raden Suharyo, Pejuang di Jalan Sunyi.” Peluncuran dilaksanakan di Gedung Bersama Loloan Barat, Negara, Jembrana, Minggu (28/1/2024) malam.

Hadir dalam acara tersebut keluarga Raden Suharyo, putranya yakni R. Azhari, Ketua FPSI Bali, H. Imam Asrorie, H.Arsyad Ketua NU Jembrana, Camat Negara, Lurah Loloan Barat, Kepala Desa Tegal Badeng Timur dan sejumlah tokoh Muslim Jembrana, M Suharto Sejarawan Pegayaman serta pengurus FPSI Buleleng. Juga hadir para pemuda-pemudi Loloan.
Buku “Haji Raden Suharyo, Pejuang di Jalan Sunyi” ditulis budayawan kelahiran Loloan Barat, Eka Sabara yang sekarang menetap di Desa Pengambengan. Dalam pengantarnya, Eka Sabara menjelaskan, bahwa kepahlawanan Raden Suharyo tidak banyak dikenal generasi saat ini. Karena memang Raden Suharyo sendiri menutupi perannya tersebut.
“Peranan penting Raden Suharyo dalam aksi-kasi gerilya bersama para pejuang di wilayah Jembrana, yang menandai sebuah era kebangkitan kaum muda Jembrana pada masa-masa perjuangan Kemerdekaan RI,” kata Eka.
Hal senada diungkapkan R.Azhari, putra dari Raden Suharyo. Menurut R. Azhari, dirinya tidak mendengar langsung cerita kepahlawanan dari ayahnya. Justru, ia mendengar cerita kepahlawanan ayahnya dari orang lain.
Ayah saya Raden Suharyo, merupakan koordinator peledakan gudang amunisi Jepang. Meskipun seorang ningrat, kata dia, ayahnya justru sangat dekat dengan masyarakat,” ungkapnya.
Kata dia, kakeknya pernah menjabat camat kaum Muhammaden atau camatnya orang-orang pribumi Muslim, Kristen, dan Budha/Tionghoa non Hindu Bali. Yang disebut Camat Loloan saat itu. Sebagai anak seorang Camat di masa pemerintahan Belanda, Ayahnya juga ikut berjuang melawan NICA pada tahun 1947 dan 1949 saat Belanda bersama NICA kembali ke Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan RI.
“Raden Suharyo memperoleh penghargaan berupa Satya Lencana Peristiwa Aksi Militer Kesatu dan Satya Lencana Peristiwa Aksi Militer Kedua dari Menteri Pertahanan RI pada tahun 1958 yaitu Djuanda,” ujarnya.
Bahkan, menurut Eka Sabara, Raden Suharyo yang punya ide bersama Bupati Jembrana, IBG Doster, memindahkan kerangka para pahlawan yang berada di berbagai desa seperti Tegal Badeng, Pengambengan, Air Kuning, Loloan, ke Makam Pahlawan. Namun, Raden Suharyo sendiri meminta kelak kalau meninggal dunia agar tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, melainkan di pemakaman umum di Terusan Loloan Barat. Raden Suharyo yang lahir pada 25 Oktober 1918 di Loloan Barat, meninggal dunia pada usia 89 tahun.
Sementara Rektor ITB Stikom Bali, Dr, Dadang Hermawan, mengatakan, generasi milenial sekarang memang kurang menyukai sejarah. Karena bagi mereka, sejarah adalah masa lampau, kita masa depan.
“Tetapi menurut saya sejarah tetap penting untuk dijadikan referensi untuk tindakan kita di masa yang akan datang. Saya berharap buku ini selain dicetak juga ada buku dalam bentuk online atau digital yang bisa diakses semua orang, termasuk generasi muda yang sehari-harinya selalu bergaul dengan yang namanya gadget, yang namanya gawai, yang namanya HP,” papar caleg DPR RI dari Partai Demokrat.
Sedangkan Bupati Jembrana, I Nengah Tamba, mengaku tidak menyangka sosok Eka Sabara merupakan seorang penulis. “Paling tidak kita punya Rocky Gerung di Jembrana,” kata Tamba, disambut tawa peserta.
Tamba mengaku melihat keberanian dari seorang Eka Sabara yang merangkaikan pikiran, berdasarkan fakta-fakta sejarah atau literatur yang dibaca atau menemukan folkor atau cerita rakyat yang dikutip sehingga menjadi catatan yang bagus untuk dibaca. Yang diberi judul ‘Pejuang di Jalan Sunyi’.
Tamba juga melibat Raden Suharyo sosok yang ditulis dalam buku “Pejuang di Jalan Sunyi sebagai anak muda Jembrana di zamannya yang mempunyai integrasi yang luar biasa, dalam menjaga martbat dan harga diri, terutama keluarga dan bangsanya. Padahal, kata dia, di zaman itu kalau kita mau disuap, mudah sekali kita disuap. Mudah sekali untuk mencari kekayaan untuk diri sendiri.
Di sini kata kunci yang kita dapatkan bagaimana anak muda konsisten. Dia (Raden Suharyo-red) masih muda sudah pergi meninggalkan rumah untuk perubahan. Untuk berjuang. Tidak mau menjadi anak yang terjajah, anak yang tertindas,” jelasnya Bupati Tamba.
Menurutnya, cuma karena hanya di ruang lingkup Jembrana, maka Raden Suharyo berjuang sebatas di Jembrana. “Kalau beliau ada di lingkungan elit Jakarta mungkin pengaruhnya beda. Beliau akan mengguncangkan Indonesia. Beliau menginsipirasi bagaimana anak muda sekarang punya martabat, punya harga diri, dan punya tujuan,” tambah Tamba.
Ia menilai, buku “Pejuang di Jalan Sunyi” karya Eka Sabara ini memberikan suatu gambaran kepada bagaimana anak muda harus berjuang. Ia berharap, buku ini dibaca generasi muda sehingga tergerak dalam dirinya untuk meneladani tokoh Raden Suharyo. “Terima kasih Bang Eka Sabara. Bang Eka ini juga berjuang dengan caranya sendiri,” tuntas Tamba dalam mengapresiasi buku itu. ™
- Penulis: Jokowae
Comment