Penampilan Terakhir Kabupaten Jembrana di PKB 2025, Sekaa Gong Kebyar Genta Gargita Tuai Pujian
- account_circle Ed27
- calendar_month Selasa, 15 Jul 2025
- visibility 21
- comment 0 komentar

suarajembrana.com – Menjelang berakhirnya pagelaran Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII Tahun 2025, Kabupaten Jembrana kembali unjuk gigi dengan menyuguhkan penampinan duta Gong Kebyar Genta Gargita, Banjar Anyarsari Kangin, Desa Nusasari, Kecamatan Melaya, Jembrana di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Bali, Senin (14/7) malam.

Penampilan duta gong kebyar dewasa ini juga sekaligus menjadi penutup rangkaian partisipasi Jembrana dalam event seni dan budaya tahunan yang paling bergensi di Pulau Dewata ini.
Tampil sebagai Duta Kabupaten Jembrana, Sekaa Gong Kebyar Genta Gargita mengawali penampilan dengan membawakan Tabuh Nem Kreasi “Jaladri”.
Kata Jaladri artinya Laut. Ketika memandangi laut dari pesisir, seolah-olah tiada ujung dan batas , jauh dan luas sekali. Desiran sepoi-sepoi angin laut seolah-olah mengalunkan musik alam. Terdengar sayup-sayup, tapi merdu, merdu sekali. Namun sayang, tiba tiba ombak datang, deburannya merubah melodi, suasana dan dinamika heningnya musik angin laut tadi.
Terinspirasi dari semua itu, penggarap mencoba mengolah sebuah garapan Tabuh Nem Kreasi Baru dalam bentuk karawitan, dengan mengikuti jajar pageh karawitan Bali, dengan mengambil nama “Jaladri”.
Penampilan pun dilanjutkan dengan Tari Kreasi Kekebyaran ” Ni Lukat Lakut”. Tari kreasi ini merepresentasikan Jagat Kerthi pada keseimbangan antara manusia (buana alit) dan alam (buana agung) agar selaras dan harmoni. Diwujudkan melalui tindakan merawat tanah, menjaga air, menyucikan udara, dan menempatkan manusia sebagai bagian, bukan penguasa.
Tapi bagaimana jika yang terjadi justru sebaliknya? Ladang-ladang dibisniskan, hutan dijadikan wacana, dan sungai hanya mengalirkan sampah dan janji. Di tengah absurditas itu, berdirilah Ni Lukat Lakut—sebuah tubuh buatan dari jerami dan kain lusuh. Ia bukan manusia, tapi menanggung beban kemanusiaan yang lupa arah.
Nyi Lukat Lakut adalah tubuh yang dipasang untuk menjaga, namun tak pernah diberi hak untuk hidup. Ia berdiri demi panen yang tak ia nikmati. Ia menjadi simbol perlindungan, tapi juga simbol keterikatan—terhadap tanah, terhadap kuasa, terhadap harapan yang diam-diam memudar. Ni Lukat Lakut adalah pertanyaan.
Tentang siapa yang menjaga, dan siapa yang dijaga.. Tentang siapa yang berkuasa, dan siapa yang hanya dipasang untuk terlihat berguna. Jika Jagat Kerthi adalah harmoni, maka Nyi Lukat Lakut adalah pengingat bahwa harmoni bukan sekedar janji.
Tari ini lahir dari tafsir koreografi atas sosok lakut—orang-orangan sawah. Dalam tubuh fiksional “Ni”, sebagai pengingat bahwa alam harus dimuliakan dan disucikan (Lukat). Dalam lanskap bunyi, estetika gamelan jegog dari Jembrana kami hadirkan sebagai upaya menghadirkan semangat kekebyaran yang lain.
Selanjutnya, penampilan pun ditutup dengan Fragmen Tari “Nusa Sari”, yang terinspirasi dari sebuah nama desa di yang berada di wilayah Kecamatan Melaya, Jembrana.
Dikisahkan Raja Klungkung, I Dewa Agung Jambe melaksanakan parum agung untuk membahas tentang banyaknya jumlah penduduk di Nusa Penida yang mana wilayah Nusa Penida tidaklah cukup luas, serta minimnya sumber pencarian sehingga, Sang Raja memutuskan untuk memindahkan penduduk Nusa Penida 121 kepala keluarga ke wilawah Jembrana yang notabene masih kosong dan merupakan wilayah hutan belantara.
Dipimpin oleh I Gusti Ketut Tangeb, rombongan tersebut berangkat menuju wilayah Bali Barat. Jembrana merupakan kawasan hutan yang masih asri dan belum pernah dijamah oleh manusia, hutan ini juga sangat angker, selain dihuni oleh satwa liar, hutan ini juga dihuni oleh makhluk gaib yang tak kasat mata.
Setibanya di wilayah yang ditentukan untuk dijadikan tempat hunian, banyak terjadi hal hal yang tidak diinginkan, seperti diganggu oleh Binatang buas, tersesat didalam hutan, ada yang sakit karena terkena upas/racun pohon, bahkan banyak dari penduduk nusa yang diganggu oleh makhluk gaib penunggu hutan, sehingga proses perabatan hutan tidak bisa berjalan.
Melihat kejanggalan-kejanggalan yang terjadi maka I Gusti Ketut Tangeb kembali dan menghadap raja untuk meminta petunjuk, berdasarkan kekuatan batin dan petunjuk yang didapat, maka sang Raja memberikan sesuatu untuk dijadikan tumbal/pakelem dan raja memerintahkan agar pakelem ini ditanam di Tengah area yang akan dijadikan pemukiman.
Setelah melaksanakan titah sang raja, maka barulah proses perabatan hutan bisa dilaksanakan, dan masyarakat mendirikan perahyangan suci guna bisa memuja dan memohon perlindungan ditempat yang baru.
Penampilan Duta Jembrana pun mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak. Hal ini terlihat dari banyaknya penonton yang memadati Panggung Terbuka Ardha Candra. Penampilan mereka pun disaksikan langsung oleh Gubernur Bali, Wayan Koster, Bupati Jembrana, I Made Kembang Hartawan, didampingi Ny. Ani Setiawarini, Wabup I Gede Ngurah Patriana Krisna, berserta Ny. Inda Swari Dewi, Sekda I Made Budiasa serta Kepala OPD dilingkungan Pemkab Jembrana.
Bupati Kembang mengungkapkan kehadiran duta Jembrana tidak hanya membawa cultur yang kuat, tetapi juga menunjukkan komitmen daerah dalam melestarikan dan mengembangkan seni budaya Bali.
Dengan penampilan ini, Sekaa Gong Kebyar Genta Gargita tidak hanya mengharumkan nama Jembrana, tetapi juga memperkuat eksistensi seni tradisi di tengah generasi muda masa kini.
“Tentu kedepannya kita berharap, duta-duta Kabupaten Jembrana yang akan datang lebih kreatif dan inovatif sehingga bisa memberikan suguhan yang menarik dan memukau masyarakat,” tutupnya. ™
- Penulis: Ed27
Comment