Kisah Panglima Daeng Si Kudadempet
- account_circle Ed27
- calendar_month Kamis, 20 Mar 2025
- visibility 372
- comment 0 komentar

suarajembrana.com – Rombongan eskuadron Daeng Nachoda terkenal dengan sebutan empat Daeng, yaitu Daeng Nachoda, Daeng Sikuda Dempet (kuda empat), Daeng Marema dan Daeng Bira. Daeng Marema dan Daeng Si Kudadempet adalah ahli silat yang pertama mengajarkan seni silat dan tetabuhan genderang gaya Bugis-Makassar, keduanya menetap di Bandar Pancoran setelah selesainya perang Jembrana-Buleleng I, sedangkan Daeng Bira berdakwah dan menetap di Buleleng.

Penelusuran kisah Panglima Si Kudadempet dilacak dari Moyang Guru Gerunuk, seorang guru mengaji asal Semarang yang bersuamikan Wak Ishak yang berasal dari Telango. Kemudian Wak Ishak meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak. Moyang Guru Gerunuk kemudian menikah dengan Panglima Daeng Si Kudadempet, di Lorong Langgar Timur Sungai sekitar tahun 1715 Masehi. Dari pernikahan Daeng Si Kudadempet dengan Moyang Guru Gerunuk diperoleh lima orang anak yaitu:
1. Daeng Fatimah
2. Daeng Sayang
3. Daeng Marhaban
4. Daeng Tojibah
5. Daeng H. Tahir (Daeng Djani)
Setelah Daeng Nachoda wafat dan dimakamkan di sekitar Bandar Pancoran, Panglima Daeng Si Kudadempet menggantikan kedudukan Daeng Nachoda sebagai Matoa Bandar Pancoran. Kata matoa berasal dari kata ammatowa: amma = bapak, towa = tua. Maka ammatowa adalah orang yang dituakan di dalam masyarakat, meskipun belum tentu orang yang tersebut adalah orang yang tertua di daerah itu.
Dengan demikian, ammatowaini adalah orang yang terpilih oleh kalangan komunitasnya. Daeng Si Kudadempet mulai menyatukan kembali sisa–sisa armada kapal Daeng Nachoda agar dapat melanjutkan perniagaan ke Makassar dan pelabuhan-pelabuhan dagang di seluruh Nusantara, dan melawan ekspansi kapal-kapal dagang dari VOC dan Portugis.
Sejak dari Makassar Panglima Daeng Si Kudadempet menyamar dari kejaran VOC sebagai saudagar dengan nama Hodah Dempet. Bandar Pancoran Jembrana mulai bertambah maju dan semakin dikenal sehingga sekitar tahun 1740-an datanglah rombongan armada pimpinan Daeng Dorak (H. Abdurrahman) yang masih merupakan keturunan bangsawan dari Kesultanan Wajo dengan diiringi 35 orang anak buah kapalnya berlabuh ke Bandar Pancoran, karena Daeng Si Kudadempet sudah semakin tua, maka olehnya dinikahkanlah Daeng Dorak dengan anaknya yang pertama yang bernama Daeng Fatimah.
Kemudian Daeng Si Kudadempet menyerahkan jabatan Matoa kepada Daeng Dorak, agar di masa tuanya beliau dapat lebih banyak berdakwah sambil mengajarkan silat khas Bugis di Jembrana. Salah seorang muridnya bernama Pan Nyuling (yang lebih dikenal dengan nama Kumpi Nyuling) berasal dari Mertesari kemudian memeluk agama Islam dan menyebarkan Islam sampai di Tuwed.
Setelah meninggal, Pan Nyuling dimakamkan di pemakaman sebelah timur Masjid Baluk, yang dirawat baik oleh keturunannya. Hingga kini, masih terdapat sekitar 50 KK keturunan Pan Nyuling dari generasi kelima dan keenam. Mereka kemudian mendirikan Koperasi Serba Usaha (KSU) “Kumpi Nyuling” di Desa Tuwed, Jembrana.
Kesimpulan kisah Daeng Sikudadempet
1. Panglima Daeng Sikudadempet menggantikan kedudukan Daeng Nachoda sebagai Matoa Bandar Pancoran.
2. Panglima Daeng Sikudadempet menyamar dari kejaran VOC sebagai saudagar dari Makassar dengan nama Hodah Dempet, serta mulai berdakwah dengan mengajarkan silat khas Bugis di Jembrana, salah seorang muridnya Pan Nyuling dari Mertesari yang kemudian menjadi seorang Muslim dan dakwah menyebarkan Islam sampai di Tuwed ( Kumpi Nyuling )
3. Panglima Daeng Sikudadempet menikah dengan Moyang Guru Gerunuk, di Lorong Langgar Timur Sungai ( CIRCA ± 1715 Masehi ), sumber Silsilah Moyang Guru Gerunuk.
Refrensi :
1. Buku Daeng Nachoda
2. Silsilah Moyang Guru Gerunuk oleh H. Ikhsan (kelahiran Timur Sungai 1905 – meninggal pada tahun 1987).
Oleh Eka Sabara, S.Pd.
- Penulis: Ed27
Comment