Loloan, Mutiara Religi di Ujung Barat Bali
- account_circle Ed27
- calendar_month Jumat, 27 Jun 2025
- visibility 265
- comment 0 komentar

Oleh: Angga Wijaya

suarajembrana.com – Jembrana, kabupaten yang terletak di ujung barat Pulau Bali, sering kali terlupakan dalam peta pariwisata Bali yang lebih banyak menyoroti Denpasar, Ubud, atau Badung. Padahal, daerah ini menyimpan sejarah panjang dan keunikan budaya yang berbeda dari citra Bali pada umumnya. Salah satu permata tersembunyi itu adalah kawasan Loloan, yang bukan hanya kaya akan nilai sejarah dan budaya, tapi juga memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata religi Islami.
Sejarah Loloan bermula pada abad ke-17, ketika rombongan pelaut Bugis dari Sulawesi Selatan mendarat dan bermukim di pesisir Jembrana. Mereka diterima dengan tangan terbuka oleh kerajaan setempat, bahkan diangkat menjadi prajurit kerajaan karena keberanian dan loyalitas mereka. Salah satu tokoh penting dari masa itu, Daeng Nachoda, diberi wewenang mendirikan pelabuhan bernama Bandar Pancoran. Kedatangan mereka menjadi awal terbentuknya komunitas Muslim yang menetap dan berkembang di Jembrana.
Wilayah yang mereka dirikan kemudian dikenal sebagai Loloan, yang berasal dari bahasa Bugis dan berarti “sungai yang luas dan panjang”. Saat ini, Loloan terbagi menjadi dua wilayah administratif: Loloan Timur dan Loloan Barat. Jejak budaya Bugis-Melayu masih tampak nyata melalui arsitektur rumah panggung, kebiasaan masyarakat, dan nilai-nilai sosial yang terus hidup hingga kini.
Salah satu ciri khas paling menonjol dari Loloan adalah kehidupan keberagamaan masyarakatnya. Relasi sosial antara komunitas Muslim dan masyarakat Bali lainnya berjalan harmonis dengan konsep “menyama braya”—falsafah kebersamaan khas Bali yang berarti saudara dalam hidup bermasyarakat. Nilai ini telah menjadi pilar dalam menjaga toleransi dan kebersamaan selama berabad-abad.
Dari harmoni tersebut tumbuhlah tradisi-tradisi keagamaan yang unik dan khas, salah satunya adalah wisata religi. Loloan memiliki sejumlah makam para ulama dan wali yang menjadi tempat ziarah, seperti makam Wali Pitu di Loloan Barat, dan makam Syarif Tue serta Buyut Lebai di Loloan Timur. Sejak 1990-an, kawasan ini ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah, bahkan luar pulau. Selain ziarah, para pengunjung juga bisa menginap di rumah-rumah panggung warga, mencicipi kuliner khas seperti plecing ayam pedas, dan merasakan suasana kampung yang tenang dan spiritual.
Namun pandemi COVID-19 sempat memukul geliat wisata religi di Loloan. Tak ada peziarah datang, penginapan kosong, dan ekonomi warga pun lesu. Baru sejak awal 2022, aktivitas mulai pulih perlahan. Para wisatawan domestik kembali datang, mengikuti protokol kesehatan, dan menghidupkan kembali denyut kehidupan kampung.
Tak hanya wisata religi, Loloan juga menyimpan satu lagi tradisi istimewa yakni Wida’, syair-syair perpisahan yang dilantunkan saat sepuluh malam terakhir Ramadan. Tradisi ini hanya ditemukan di Loloan. Dalam syair Wida’, para ulama tempo dulu meluapkan kesedihan akan perginya bulan suci. Lantunannya dilakukan tengah malam, dalam lengkingan nada tinggi dan panjang, menggema memecah keheningan kampung.
Menurut sejarawan lokal Eka Sabara, tradisi ini bermula dari abad ke-18. Tuan Guru di Loloan mengekspresikan kesedihan akan berakhirnya Ramadan melalui syair Bugis-Melayu. Kata “Wida’” sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti perpisahan, dan dalam budaya Bugis bermakna “selamat tinggal”. Tradisi ini diyakini sebagai bentuk spiritualitas mendalam, bahkan dipercaya oleh sebagian masyarakat bahwa selama Ramadan para leluhur mendapatkan “remisi” dari alam barzakh untuk pulang ke dunia.
Generasi muda seperti Yusuf Mudatsir melihat tradisi Wida’ tak hanya sebagai ekspresi religius, tapi juga potensi besar untuk dikembangkan sebagai warisan budaya. Yusuf dan rekan-rekannya tengah merancang pembuatan film dokumenter, festival Wida’, hingga program regenerasi pewida’. Ia menyebut Wida’ sebagai warisan suara yang memadukan nada Melayu dan Bali, menciptakan harmoni unik yang bisa dinikmati bahkan oleh mereka yang tidak memahami maknanya.
Kini, meskipun Loloan belum secara resmi ditetapkan sebagai desa wisata oleh pemerintah daerah, embrio pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat sudah terbentuk. Kelompok Sadar Wisata Ambenan Ijogading di Loloan Timur menjadi pelopor. Pemerintah Kabupaten Jembrana sendiri telah mencanangkan pengembangan desa wisata melalui Perda No. 2 Tahun 2018. Harapannya, Loloan bisa segera diikutkan dalam pengembangan ini, terutama karena memiliki daya tarik wisata yang autentik dan berbeda dari kebanyakan desa wisata di Bali yang didominasi budaya Hindu.
Loloan adalah wajah lain Bali. Bali yang terbuka, inklusif, dan penuh toleransi. Jika selama ini wisata Bali identik dengan pura, pantai, dan kesenian Hindu, maka Loloan menunjukkan bahwa Bali juga memiliki sejarah Islam yang tua dan hidup. Dengan dukungan masyarakat dan perhatian pemerintah, Loloan bisa tumbuh sebagai destinasi religi yang tak hanya menyuguhkan ketenangan spiritual, tapi juga cerita tentang keberagaman yang berpadu dalam harmoni. ™
- Penulis: Ed27
Comment