Dokar Pak Karim
- account_circle Ed27
- calendar_month Rabu, 2 Jul 2025
- visibility 183
- comment 0 komentar

Oleh: Angga Wijaya

Masa kecil saya punya satu cerita yang selalu muncul setiap kali saya mendengar suara derap kuda—cerita tentang hari Minggu, tentang ibu angkat saya, dan tentang dokar milik Pak Karim.
Setiap hari Minggu pagi, ketika sebagian orang memilih tidur lebih lama atau menyalakan televisi, ibu angkat saya justru punya agenda khusus untuk saya yaitu, keliling kota kecil kami di atas dokar.
Itu adalah hadiah kecil tapi sangat berarti—karena beliau tahu, saya sangat menyukai kuda. Setiap kali melihat kuda di jalan, mata saya langsung berbinar. Dan beliau, seperti bisa membaca isi hati saya, menjadikan dokar sebagai kebiasaan akhir pekan kami.
Dokar itu sederhana. Tidak berhias, tidak berwarna mencolok. Tapi dari tempat duduk kayunya, saya merasa seperti penumpang paling istimewa. Kusirnya bernama Pak Karim. Beliau warga asli Loloan, sebuah kampung tua di kota Negara, Jembrana, Bali. Kampung Loloan dikenal sebagai tempat tinggal komunitas Bugis-Melayu yang telah lama menetap di sana.
Tapi waktu kecil, saya belum paham soal sejarah. Yang saya tahu, Pak Karim orangnya ramah dan sabar. Suaranya berat tapi menenangkan. Kalau saya banyak bertanya, beliau tidak pernah marah.
Saya duduk di depan, dekat Pak Karim, memandangi surai kuda yang bergoyang pelan saat berjalan. Angin pagi mengelus pipi, dan suara “tap… tap…” dari kaki kuda seperti lagu pengantar yang selalu saya tunggu-tunggu.
Kadang saya bertanya, “Pak, kuda ini dikasih makan apa?” atau, “Kenapa kakinya dikasih sepatu besi?” Dan Pak Karim akan menjawab dengan sabar, sambil sesekali tersenyum kecil.
Ibu saya duduk di belakang. Beliau tak banyak bicara, hanya sesekali menanggapi obrolan kami atau menunjuk arah yang ingin dituju. Mungkin bagi orang lain, itu hanya perjalanan pendek keliling kota. Tapi bagi saya, itu seperti perjalanan istimewa yang menyatukan kami bertiga—saya, ibu, dan Pak Karim.
Saya tidak tahu apakah ibu angkat saya membayar Pak Karim setiap minggu, atau sudah ada kesepakatan di antara mereka. Yang jelas, tak pernah ada Minggu yang terlewat tanpa dokar, selama masa kecil saya di kota Negara.
Kini, setelah dewasa, saya mulai mengerti bahwa ibu saya tidak sekadar mengajak saya naik dokar. Beliau sedang menunjukkan kasih sayang dengan cara yang paling saya mengerti—melalui suara kuda, melalui jalan-jalan pagi, melalui waktu yang kami habiskan bersama tanpa tergesa-gesa.
Saya juga baru sadar bahwa dokar itu bukan sekadar kendaraan, tapi bagian dari kenangan. Bagian dari cara saya memahami kasih ibu, dan cara saya mengingat kampung halaman. Saya tidak tahu di mana Pak Karim sekarang. Apakah ia masih menarik dokar, atau sudah menikmati masa tua di Loloan. Tapi nama dan wajahnya tetap saya ingat. Sama seperti saya mengingat suara roda kayu yang menggilas jalan, atau embusan angin pagi yang menyelinap lewat celah kursi.
Hari ini, suara dokar di kota sudah jarang terdengar. Mesin-mesin menggantikannya. Tapi bagi saya, suara dokar Pak Karim tetap hidup dalam ingatan. Ia membawa saya kembali ke masa kecil yang hangat, ke kota kecil yang tenang, dan ke sosok ibu yang mencintai dengan cara yang lembut dan diam-diam.
Kini, di depan Pasar Umum Negara, pasar tradisional yang baru direvitalisasi di jantung Kota Negara—masih terdapat pangkalan dokar yang melayani rute keliling kota. Kehadiran dokar-dokar ini bukan sekadar moda transportasi, melainkan juga bagian dari upaya pelestarian warisan budaya yang nyaris punah di banyak kota lain di Bali.
Dokar yang dulunya merupakan pemandangan sehari-hari, kini justru menjadi sesuatu yang istimewa—mengingatkan kita pada masa lalu yang sederhana dan hangat.
Melihatnya kembali hadir di kota ini, membuat saya merasa seperti kembali dipertemukan dengan kenangan tentang Pak Karim, ibu, dan hari Minggu pagi yang selalu saya nanti-nanti. ™
- Penulis: Ed27
Comment